Meski dilakukan sebagai ekspresi sayang, sikap gemas orang dewasa yang diwujudkan dengan mencubit pipi atau mengelitiki pinggang si kecil, dapat membuat dirinya merasa tak nyaman. Apalagi jika yang melakukan adalah orang yang tak dikenal. Respons anak pun berbeda-beda. Ada yang tertawa "terpaksa" akibat kegelian, ada juga yang melengos tanpa basa-basi. Anak yang dikelitiki tanpa berhenti, meski tertawa-tawa, bisa saja mengalami kesulitan menarik nafas.
Jika orang dewasa kerap mencium, memeluk, mencubit, atau menggelitiki anak, wajar saja kalau anak yang menjadi "korban" sampai menyimpulkan bahwa ciuman atau pelukan tidak lagi menjadi hal yang menyenangkan. Hal itu dianggap bukan wujud rasa sayang, dan tidak memberikan rasa aman. Padahal, orang yang melakukan itu tak bermaksud menyakiti.
Belajar dari pengalaman buruk tersebut, terang saja jika si kecil jadi enggan dicium dan dipeluk oleh kedua orangtuanya. Membuatnya kembali percaya bahwa pelukan dan ciuman merupakan ekspresi kasih sayang bisa makan waktu lama jjika anak terlanjur trauma.
Jadi takut
Trauma akibat "disakiti" membuat anak ketakutan, apalagi jika bertemu kembali dengan orang yang menyakitinya. Boleh jadi, ketika bertemu kembali, ia menunjukkan reaksi tegang dengan memegang erat ibu atau ayahnya, menyembunyikan wajah, tampak gelisah, bahkan akhirnya menangis. Ekspresi itu menunjukkan ia merasa tidak aman dan nyaman. Terhadap orang asing yang mencoba bersikap akrab, tentunya ia akan jaga jarak dulu dan bersiap-siap kalau-kalau ia diperlakukan sama seperti pengalaman sebelumnya. Padahal, orang tersebut mungkin tidak berniat untuk mencubit pipi, menggelitiki, memeluk, atau menciumnya, tetapi hanya ingin tahu nama dan menyapa, misalnya.
Faktor emosi si batita pun bisa menjadi tidak stabil karena suasana nyaman yang awalnya terbangun, terpecahkan oleh "perilaku" orang lain yang secara tak sadar justru membuatnya tak nyaman. Ujung-ujungnya hal ini bisa mengganggu kemauannya untuk bereksplorasi, berinteraksi sosial, bermain, mengembangkan kreativitas, dan sebagainya.
Pada tahap selanjutnya ia menjadi kurang percaya diri, tidak percaya pada lingkungan, mood-nya sering berubah menjadi negatif karena muncul rasa benci, kesal, marah, akibat diperlakukan tidak menyenangkan.
Nah, masalah lainnya, orangtua terkadang seolah mendukung apa yang dilakukan orang lain tersebut terhadap diri si kecil. Padahal sebenarnya anak ingin berlindung pada orangtua.
Menolak halus
Untuk menghindari perlakukan seperti ini, mau tak mau kita mesti mewaspadai atau menjaga jarak begitu melihat orang lain yang tampak gemas pada si kecil. Coba alihkan keinginan orang itu menjawil pipi si kecil dengan mengatakan, "Eh Sayang, Tante ini mau salaman sama kamu, ayo salamnya bagaimana?"
Kalaupun si kecil mulai merasa tak nyaman dan rewel, katakan pada orang itu, "Oh, Tante, dia maunya dibelai, enggak mau dicubit-cubit." Jadi kitalah yang memberitahu orang itu secara halus untuk tidak mencubit, menggelitik, dan menggoda model lainnya karena si kecil tak menyukai hal tersebut.
Kalau orang tersebut tetap tampak melampiaskan kegemasannya, sebaiknya segeralah beranjak dengan alasan seperti, "Nak, waktunya makan siang ya. Yuk, pulang dulu. Dadah sama Tante ya, bilang mau pulang dulu ya, Tante."
Orangtua memang perlu mengantisipasi dampaknya, sehingga jangan sampai si kecil tak mau berinteraksi gara-gara takut atau trauma akibat dicubit, digelitiki, dan sebagainya. Lantaran itu, ungkapan rasa gemas sebaiknya tidak terlalu ekspresif sehingga bisa menyakiti si kecil. Tunjukkan saja dalam bentuk belaian, usapan, atau sekadar senyuman dan kata-kata. Misalnya, "Aduh, lucunya kamu. Tante suka deh sama rambutmu yang kriwil-kriwil."
Dengan cara yang tidak berlebihan seperti itu, anak dan orangtua dapat menangkap kesan bahwa segala sesuatunya berjalan terkendali sehingga aman dan nyaman. Perkembangan psikis si batita pun tidak terganggu karena ia tetap merasa aman, nyaman, terlindungi, dihargai, dan bisa percaya diri karena emosinya stabil.
Selain itu orangtua juga perlu memberi rasa tenang pada si batita bahwa orang yang hendak berinteraksi dengannya itu dapat memberikan rasa aman dan nyaman, serta dapat dipercaya. Beritahu bahwa orang itu hanya mau mengenal namanya. Dengan begitu si kecil yakin orang itu takkan melakukan sesuatu yang menyakitkan hanya karena gemas.
Sumber: Wanda Anastasia, MPsi, psikolog dari LangkahKu dan Klinik Pela 9
(Tabloid Nakita/Hilman Hilmansyah)
Meski dilakukan sebagai ekspresi sayang, sikap gemas orang dewasa yang diwujudkan dengan mencubit pipi atau mengelitiki pinggang si kecil, dapat membuat dirinya merasa tak nyaman. Apalagi jika yang melakukan adalah orang yang tak dikenal. Respons anak pun berbeda-beda. Ada yang tertawa "terpaksa" akibat kegelian, ada juga yang melengos tanpa basa-basi. Anak yang dikelitiki tanpa berhenti, meski tertawa-tawa, bisa saja mengalami kesulitan menarik nafas.
Jika orang dewasa kerap mencium, memeluk, mencubit, atau menggelitiki anak, wajar saja kalau anak yang menjadi "korban" sampai menyimpulkan bahwa ciuman atau pelukan tidak lagi menjadi hal yang menyenangkan. Hal itu dianggap bukan wujud rasa sayang, dan tidak memberikan rasa aman. Padahal, orang yang melakukan itu tak bermaksud menyakiti.
Belajar dari pengalaman buruk tersebut, terang saja jika si kecil jadi enggan dicium dan dipeluk oleh kedua orangtuanya. Membuatnya kembali percaya bahwa pelukan dan ciuman merupakan ekspresi kasih sayang bisa makan waktu lama jjika anak terlanjur trauma.
Jadi takut
Trauma akibat "disakiti" membuat anak ketakutan, apalagi jika bertemu kembali dengan orang yang menyakitinya. Boleh jadi, ketika bertemu kembali, ia menunjukkan reaksi tegang dengan memegang erat ibu atau ayahnya, menyembunyikan wajah, tampak gelisah, bahkan akhirnya menangis. Ekspresi itu menunjukkan ia merasa tidak aman dan nyaman. Terhadap orang asing yang mencoba bersikap akrab, tentunya ia akan jaga jarak dulu dan bersiap-siap kalau-kalau ia diperlakukan sama seperti pengalaman sebelumnya. Padahal, orang tersebut mungkin tidak berniat untuk mencubit pipi, menggelitiki, memeluk, atau menciumnya, tetapi hanya ingin tahu nama dan menyapa, misalnya.
Faktor emosi si batita pun bisa menjadi tidak stabil karena suasana nyaman yang awalnya terbangun, terpecahkan oleh "perilaku" orang lain yang secara tak sadar justru membuatnya tak nyaman. Ujung-ujungnya hal ini bisa mengganggu kemauannya untuk bereksplorasi, berinteraksi sosial, bermain, mengembangkan kreativitas, dan sebagainya.
Pada tahap selanjutnya ia menjadi kurang percaya diri, tidak percaya pada lingkungan, mood-nya sering berubah menjadi negatif karena muncul rasa benci, kesal, marah, akibat diperlakukan tidak menyenangkan.
Nah, masalah lainnya, orangtua terkadang seolah mendukung apa yang dilakukan orang lain tersebut terhadap diri si kecil. Padahal sebenarnya anak ingin berlindung pada orangtua.
Menolak halus
Untuk menghindari perlakukan seperti ini, mau tak mau kita mesti mewaspadai atau menjaga jarak begitu melihat orang lain yang tampak gemas pada si kecil. Coba alihkan keinginan orang itu menjawil pipi si kecil dengan mengatakan, "Eh Sayang, Tante ini mau salaman sama kamu, ayo salamnya bagaimana?"
Kalaupun si kecil mulai merasa tak nyaman dan rewel, katakan pada orang itu, "Oh, Tante, dia maunya dibelai, enggak mau dicubit-cubit." Jadi kitalah yang memberitahu orang itu secara halus untuk tidak mencubit, menggelitik, dan menggoda model lainnya karena si kecil tak menyukai hal tersebut.
Kalau orang tersebut tetap tampak melampiaskan kegemasannya, sebaiknya segeralah beranjak dengan alasan seperti, "Nak, waktunya makan siang ya. Yuk, pulang dulu. Dadah sama Tante ya, bilang mau pulang dulu ya, Tante."
Orangtua memang perlu mengantisipasi dampaknya, sehingga jangan sampai si kecil tak mau berinteraksi gara-gara takut atau trauma akibat dicubit, digelitiki, dan sebagainya. Lantaran itu, ungkapan rasa gemas sebaiknya tidak terlalu ekspresif sehingga bisa menyakiti si kecil. Tunjukkan saja dalam bentuk belaian, usapan, atau sekadar senyuman dan kata-kata. Misalnya, "Aduh, lucunya kamu. Tante suka deh sama rambutmu yang kriwil-kriwil."
Dengan cara yang tidak berlebihan seperti itu, anak dan orangtua dapat menangkap kesan bahwa segala sesuatunya berjalan terkendali sehingga aman dan nyaman. Perkembangan psikis si batita pun tidak terganggu karena ia tetap merasa aman, nyaman, terlindungi, dihargai, dan bisa percaya diri karena emosinya stabil.
Selain itu orangtua juga perlu memberi rasa tenang pada si batita bahwa orang yang hendak berinteraksi dengannya itu dapat memberikan rasa aman dan nyaman, serta dapat dipercaya. Beritahu bahwa orang itu hanya mau mengenal namanya. Dengan begitu si kecil yakin orang itu takkan melakukan sesuatu yang menyakitkan hanya karena gemas.
Sumber: Wanda Anastasia, MPsi, psikolog dari LangkahKu dan Klinik Pela 9
(Tabloid Nakita/Hilman Hilmansyah)